
Bung Karno, Bapak proklamasi kita, semasa perjuangannya memiliki kedekatan dengan tokoh pergerakan kemerdekaan maupun para ulama semasanya. Tanpa terkecuali dengan pendiri NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Namun dari sekian banyak tokoh yang dikenal Bung Karno, kejadian-kejadian bersejarah paling monumental, paling epik, paling dikenang dan 2 diantaranya diabadikan dalam hari libur nasional ada kaitannya dengan Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Apa saja itu ? Secara berurutan, hari lahir Pancasila, hari Kemerdekaan Republik Indonesia, hari Santri dan Hari Pahlawan.
Lahirnya Pancasila, 1 Juni
Perumusan Pancasila bukan tanpa silang pendapat, bahkan perdebatan tajam terutama seputar sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai akhirnya sempat terumuskan Piagam Jakarta yang menyebutkan, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tentu saja bunyi tersebut ditanggapi keberatan oleh anak bangsa yang berasal dari keyakinan yang berbeda. Masalah baru pun muncul, Indonesia waktu itu berada di tepi perpecahan bangsa.
Pada kondisi genting tersebut Karno mengirimkan rombongan menemui Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari di Jombang yang dipimpin oleh KH Wahid Hasyim. Tujuannya untuk meminta penilaian KH Hasyim Asy’ari apakah Pancasila 1 Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.
Setelah mendengar maksud kedatangan rombongan, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan. Prinsipnya, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari memahami bahwa kemerdekaan adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara harus berprinsip menyatukan semua. Untuk memutuskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat Islam atau belum, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari melakukan tirakat.
Paginya, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) bisa dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam. Sila-sila lain yang termaktub dalam sila ke-2 hingga sila ke-5 juga sudah sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam. Karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.
Atas ikhtiar lahir dan batin Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari tersebut, akhirnya rumusan Pancasila bisa diterima oleh semua pihak dan menjadi pemersatu bangsa Indonesia hingga saat ini.
Sayyidul Ayyam, Sayyidus Syuhrur. 17 Agustus Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Dalam dialog antara Sukarni dan Bung Karno di buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,” Cindy Adams menyebut penentuan hari proklamasi bertanggal 17 Agustus 1945 yang bertepatan hari Jumat tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriah itu merupakan hasil istikharah para ulama. Salah satunya, pendiri NU, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari.
Senada, Aguk Irawan M. N. dalam bukunya “Penakluk Badai: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari,” menyebut Bung Karno sejak awal sudah mendiskusikan soal hari kemerdekaan dengan Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Utusan yang dikirim Bung Karno di awal Ramadhan, 8 Agustus 1945, diberi mandat menanyakan hasil istikharah para ulama mengenai hari baik untuk proklamasi kemerdekaan.
Di tengah perseteruan panas antara kaum tua dan muda mengenai kapan proklamasi kemerdekaan dideklarasikan merespon kekalahan Jepang oleh Sekutu dan antisipasi kemungkinan kembalinya Belanda menjajah Indonesia, pada 8 Agustus 1945 atau di awal bulan Ramadhan tahun itu, Bung Karno mengirim beberapa utusan untuk menemui Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Tujuannya antara lain memohon istikharah para ulama tentang hari baik untuk memproklamasikan kemerdekaan. Desakan para pemuda yang nyaris menumpahkan darah itu dinilai Bung Karno tidak cukup.
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari kemudian memberi masukan, hendaknya proklamasi dilakukan hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhrur (penghulunya bulan). Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Fakta ini membantah klaim Belanda yang mengatakan bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah bentukan Jepang.
Hari Santri 22 Oktober dan Hari Pahlawan 10 November
Tak lama berselang setelah Proklamasi Kemerdekaan, pada September 1945 pasukan Sekutu di bawah Komando Inggris, yang membawa serta Belanda mendekati Surabaya. Singkatnya, mereka ingin kembali menjajah Indonesia dengan berusaha menguasai Surabaya sebagai pusat kedua setelah Jakarta.
Dari Jakarta, Presiden Sukarno tak tinggal diam. Dia segera mengirim utusan menghadap Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Bung Karno meminta fatwa syariat, apa hukum membela Tanah Air. Bagi Bung Karno, hukum membela Allah, membela Islam, dan membela Al-Qur’an sudah jelas. Tapi membela Tanah Air, belum jelas benar hukumnya bagi Bung Karno. Hal ini ditulis A. Khoirul Anam dalam artikelnya “Setelah Presiden Sukarno Meminta Fatwa KH Hasyim Asy’ari.”
Mendengar pertanyaan demikian dari para utusan yang datang, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari memahami maksud Bung Karno. Di balik pertanyaan itu, Bung Karno sebagai Presiden bermaksud meminta tolong Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari meyakinkan para ulama dan kalangan pesantren untuk berjihad dengan turut serta terjun ke medan laga, bertempur melawan tentara penjajah Inggris dan Belanda.
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari langsung bertindak. Dibantu Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri, mengundang para ulama se-Jawa dan Madura untuk berkumpul di di kantor PB Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya. Menurut Anam, baru pada tanggal 21 Oktober para kyai dapat berkumpul di sana.
Tapi, pertemuan belum afdhal karena para ulama dan tokoh masyarakat dari Jawa Barat belum hadir semua. Karena itulah, Mbah Hasyim memohon kesediaan para kyai yang sudah hadir menunggu para kyai yang dikabarkan sedang dalam perjalanan menaiki kereta api yang kala itu masih sangat sederhana dari arah Cirebon dan Indramayu.
Beberapa saat kemudian, Kyai Abbas dari Buntet Cirebon, Kyai Satori dari Arjawinangun Cirebon, Kyai Amin dari Babakan Ciwaringin Cirebon, dan Kyai Suja’i dari Indramayu, pun tiba di Surabaya. Setelah semua kyai yang diundang tiba, jelas Anam, Kiai Wahab Hasbullah segera memimpin rapat darurat membahas aksi yang akan diambil.
Pertemuan inilah yang kemudian melahirkan keputusan monumental perjuangan ulama dalam rangka jihad membela Tanah Air. Khoirul Anam mencatat, pada 22 Oktober, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan sebuah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad yang berpuncak pada perjuangan heroik 10 November 1945.
Leave a Comment