
Berbeda pemahaman tentang fiqh sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam pelaksanaan syariat Islam. Sejak dulu sampai sekarang umat Islam dikelilingi aneka ragam pendapat fiqh yang ada. Sudah keniscayaan. Keanekaragaman fiqh tidak harus atau perlu diseragamkan meskipun dalam hal-hal tertentu ada titik kompromi yang bisa diupayakan. Tugas setiap muslim hanya tinggal memilih dan pendapat mana yang akan diadopsi untuk diamalkan dengan tetap menghargai pendapat lain yang diamalkan orang lain.
Kendati demikian, bukan berarti setiap ahli fiqh boleh membawa (menfatwakan) fiqh kepada siapapun tanpa memperhatikan aspek sosio-kultural penerimanya. Karena masyarakat muslim bukanlah masyarakat yang kosong dari fiqh. Setiap komunitas muslim pasti sudah memilih, mengadopsi dan mengamalkan satu pendapat fiqh. Dalam arti luas, suatu masyarakat pasti sudah bermadzhab. Apakah bermadzhab kepada keempat Imam madzhab sunni atau “madzhab ormas Islam” yang diikutinya.
Memfatwakan sebuah keputusan fiqh dituntut bersikap luwes, fleksible, lapang dada dan membuka hati seluas-luasnya ketika berada di suatu masyarakat. Sosiologi madzhab, maqashid syariah bahkan persatuan umat Islam selayaknya diutamakan ketimbang pada klaim pembawa fiqh atas dalil dan kekuatannya. Karena pemahaman dan standar kekuatan dalil sejatinya bersifat relatif.
Maksudnya daripada ngotot membawa pendapat fiqh yang berbeda dengan pendapat fiqh yang sudah diyakini suatu masyarakat dengan alibi memiliki dalil yang lebih kuat lalu membuat gaduh, lebih baik diam demi menjaga ketentraman masyarakat. Apalagi jika menyangkut kaidah fiqh yang mengatakan: “hukmul hakim yarfa’ul khilaf”, keputusan pemerintah itu menghilangkan perbedaan pendapat.
Bijaksana membawa fiqh salah satu ciri kefaqihan seseorang. Seorang faqih mengerti betul kepada siapa fiqh yang dia bawa. Kekuatan dalil bukan satu-satunya faktor tapi kondisi psikologis, sosio-kultural, politik dan historis penerima fiqh juga menjadi pertimbangannya. Sehingga fiqh yang dibawanya bukan hanya benar tapi juga tepat pada tempatnya. Dengan kata lain seseorang yang membawa fiqh tanpa memperhatikan kemashlahatan penerimanya, belum bisa dikatakan faqih.
Membawa fiqh harus bijaksana agar fiqh tidak membuat gaduh di tengah masyarakat. Sepakat kan ?
Leave a Comment