Kala saling sengketa hilal

Diakui, perbincangan soal hilal Idul Fitri 1444 H / 2023 M di medsos lebih hot dibanding sebelumnya, bahkan ada yang sampai berurusan dengan penegak hukum segala (kasus peneliti BRIN). Banyak postingan yang berseliweran via WA yang menarik perhatian. Salah satunya mengenai Ramadan dan Idul Fitri zaman Orba dulu.

Untuk mengenangnya, browsing lah menjelajah Google. Salah satu yang menarik dan menggelitik Mang temukan di website Alif, yang ditulis Ayung Notonegoro dengan judul “Kala Orde Baru Meringkus Hilal Ramadan“. Saya kutipkan sebagian.

Pagi itu, Slamet dipanggil pimpinannya. Ia diintograsi selayaknya pesakitan yang sedang di-BAP oleh aparat.

“Kapan kamu mulai berpuasa?” tanya sang pimpinan dengan nada ketus.

Jantung pegawai Kantor Urusan Agama di Banyuwangi itu, berdegub kencang. Ia mulai menyadari akan bahaya yang mengintai.

Saat itu, sekitar 1980-an, penentuan awal Ramadan terjadi perbedaan. Pemerintah menetapkan sehari sebelum Nahdlatul Ulama (NU). Slamet yang note bene warga NU itu, lebih memilih ikut hasil penetapan NU yang menggunakan rukyat. Sementara pemerintah berpatokan pada hasil hisab.

Berbeda dengan keputusan pemerintah pada masa Orde Baru, tak ubahnya telah melakukan tindakan subversif. Jangankan pada hal-hal yang menyangkut urusan umum, hal yang privat seperti agamamu pun tak luput dari intervensi negara, lengkap dengan tindakan represifnya.

Jika yang melanggar Pegawai Negeri Sipil (PNS), besar kemungkinan dipecat, dimutasi atau tak pernah dapat promosi. Jika bukan PNS, maka bersiaplah menghadapi aparat. Bisa Babinsa, bisa juga Koramil, bahkan Kodim.

“Pada satu Ramadan,” jawab Slamet diplomatis.

“Saya tahu, puasanya pasti satu Ramadan. Tapi, hari apa?” pimpinannya mulai geram.

“Selasa, Pak. Berdasarkan hasil rukyah sebagaimana yang saya yakini, saya puasa hari itu,” jawabnya lagi dengan tegas.

“Kok berbeda dengan pemerintah? Kamu tahu apa akibatnya jika melawan?”

Dua pertanyaan terakhir tentu tak perlu diberikan jawaban. Karir Slamet pun sempat tersendat. Hingga akhirnya reformasi bergulir. Orba pun tumbang. Kini, Slamet bisa promosi jabatan dengan kompetitif. Sekarang ia menjabat sebagai Kepala Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi.

“Sekarang, meski ada anak buah saya yang berpuasa beda dengan hasil keputusan pemerintah, tidak saya tegur. Apalagi sampai di-BAP seperti saya dulu,” ungkapnya sembari tersenyum.

Pada masa itu, Slamet bukanlah seorang diri. Banyak orang yang menjadi korban represif Orba hanya karena perbedaan penentuan awal Ramadan. Begitu juga saat menentukan akhir Ramadan atau awal Syawal. Lebih genting lagi. Salat id menjadi penanda penting, seseorang itu loyal ataukah tidak pada pemerintah.

Seperti halnya yang dialami oleh H. Khoirul Masykur. Aktivis NU dari Desa Kabat, Banyuwangi itu, mengalami bagaimana pahitnya tekanan Orde Baru hanya karena perbedaan. Hal tersebut terjadi pada penentuan 1 Syawal 1418 H. Dengan mengacu pada visibilitas hilal yang menggunakan metode hisab, hari raya jatuh pada 30 Januari 1998.

“Menteri agama, di televisi sudah berbicara. Lebaran bisa mengikuti pemerintah, bisa juga tidak,” kata Haji Masykur mengenang perkataan Tarmizi Taher yang saat itu jadi Menteri Agama Indonesia.

Merasa mendapat restu tak langsung dari pemerintah, Haji Masykur memilih untuk berlebaran sebagaimana yang ditetapkan oleh NU. Saat itu, NU memutuskan berlebaran lebih dahulu. Keputusan tersebut berdasarkan metode imkanur rukyah dengan standar dua derajat. Pemerintah sendiri, menggunakan standarisasi tiga derajat.

Namun, saat ada yang memutuskan lebaran berbeda dengan pemerintah, aparat di bawah pun segera menindak. Mereka tak mau tahu. Berbeda dengan pemerintah berarti harus ditindak!

Haji Masykur yang kala itu menjadi Ketua Takmir Masjid Baiturrahmah di desanya segera bersiap untuk mengumandangkan takbir. Namun, mendapat penolakan dari pengurus takmir yang lain. Mereka memilih untuk mengikuti keputusan pemerintah karena tak mau mengambil resiko.

Menghadapi penolakan dari sejawatnya di ketakmiran tak membuatnya kendur. Justru ia makin nekat. Ia bujuk temannya yang bernama Haji Asy’ari untuk jadi panitia pengumpulan zakat fitrah. Sementara para santrinya diperintahkan untuk bertakbir di Musalah Baitudz Dzakirin, di depan rumah Haji Masykur.

Polemik pun tak bisa dihindarkan. Keputusan nekat Masykur mendapat penolakan dari beberapa tokoh setempat. Bahkan, Koramil Kabat dan Sekwilcam ( Sekretaris Camat) Kabat, ikut nimbrung dalam perdebatan tersebut. Perdebatan berlangsung hingga larut malam.

Sementara itu, sebagian besar masyarakat yang ikut Haji Masykur tetap bertakbir dan membayar zakat. Saat menjelang fajar, Haji Masykur akhirnya memenangkan polemik tersebut. Bahkan, ia diberi izin untuk meminjam kendaraan Koramil Kabat yang beragama Kristen itu berkeliling kampung mengangkut beras zakat.

“Jika sampai Subuh tidak sah, kan. Akhirnya, biar cepat, jadi pinjamlah kendaraan Koramil,” ceritanya.

Paginya, saat Salat Id, masjid tetap terkunci. Tak ada aktivitas. Namun, di Musalah Baitudz Dzakirin, penuh sesak dengan warga yang hendak menunaikan Salat Id. Takbir terus bergema sedari malam.

Menariknya, cerita lelaki sepuh yang pernah menjadi Bendahara MWC NU Kabat itu, Salat Id langsung dijaga oleh Babinsa kala itu. Banyak orang yang tak setuju mencibir; salat kok dijaga Babinsa?

“Sebenarnya, saya sengaja mengundang Babinsa untuk berjaga-jaga. Takutnya ada yang usil dan melempari orang yang sedang salat,” aku Masykur.

Akhirnya, mayoritas masyarakat Mantren merayakan lebaran saat itu juga. Sehari sebelum penetapan pemerintah. Keesokan harinya, masjid pun tetap tak melaksanakan salat Id. Entah kemana salatnya para penolaknya kala itu.

Apa yang dituliskan Ayung, berbanding terbalik seperti yang kita lihat saat ini. Beda hari pelaksanaan Idul Fitri / 1 Syawal alih-alih ditekan, dihormati kalimat toleransi, difasilitasi dan dilindungi sebagaimana kasus peneliti BRIN.

Namun ada yang menggelitik dari kisah tersebut. Warga NU selalu berlebaran 1 (satu) hari lebih cepat dari pemerintah dan para pendukungnya. Kok bisa ? Bayangkan daftar “kok bisa” di bawah ini :

  • Jika dulu ormas Islam pendukung pemerintah begitu patuh mengikuti pemerintah menjadi The Good boy, mengapa saat ini tidak ?
  • Apa kriteria pemerintah yang mereka bayangkan ? Seperti masa Orba ?
  • Harusnya sejak dulu penganut hisab titik 0 (nol) wujudul hilal harus selalu lebih dulu lebaran dibanding warga NU yang menetapkan imkan rukyat 2 – 3 derajat.
  • Jika waktu itu NU saja menetapkan 2 – 3 derajat, maka berapa derajat yang jadi patokan pemerintah orba saat itu beserta pendukungnya ? 4 – 6 derajat kah ?
  • Jika demikian, nampaknya sudah jelas hisab titik 0 (nol) itu sebuah bid’ah dalam artian hal baru yang belakangan ini digunakan.
  • Jika urusan imkan rukyah, wujudul hilal saja bisa berubah, mengapa tidak juga bisa dicarikan titik temu supaya lebaran bisa selalu bersama-sama ? Mosok sih, se-tetangga dalam MABIMS (Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura) saja bisa sepakat dalam sebuah titik temu kok se-negara ngga bisa ?
  • Apa sebetulnya dasar keukeuh seperti yang terjadi saat ini ?

Apa masalahnya ? Jelas menurut Mang, masalah bukan pada metode hisab atau rukyah nya. Keduanya ilmu dari Allah dan diakui dalam Al-Quran, gitu kata Gus Baha. Membuang salah satunya tentu jadi masalah.

Apakah harus Mang tanyakan pada rumput yang bergoyang sangking kecewanya ?

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Menuju titik temu hisab wujudul hilal dan hisab imkan rukyat

Idul Fitri berbeda, keputusan pemerintah menghilangkan perbedaan

Idul fitri 1444 H

Muhammadiyah terbelenggu wujudul hilal: Metode lama yang mematikan tajdid hisab