Konsep Geosentrik yang usang menginspirasi wujudul hilal

Pengantar

Kali ini Prof. T. Djamaluddin, membicarakan konsep geosentrik yang melandasi wujudul hilal.

Konsep Geosentrik yang usang menginspirasi wujudul hilal

T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI

Awal Ramadhan 1433 berpotensi terjadi perbedaan, karena posisi bulan sudah di atas ufuk (sudah wujud) tetapi masih di bawah kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat). Perbedaan itu terjadi karena masih ada pengguna kriteria Wujudul Hilal. Berdasarkan hisab (perhitungan astronomi) 1433 sudah dapat diprakirakan awal Ramadhan 1433 menurut kriteria Wujudul Hilal akan jatuh pada 20 Juli 2012, sedangkan berdasarkan kriteria imkan rukyat jatuh pada 21 Juli 2012. Perbedaan serupa juga terjadi saat penentuan Idul Fitri 1432 lalu.  Hal ini sudah saya ulas dalam beberapa tulisan di blog saya ini.

Ada teman dari Muhammadiyah meminta saya tidak menggunakan kata “usang” yang dianggap melecehkan Muhammaduyah. Saya jelaskan, kata “usang” adalah kata netral untuk mengungkapkan teori atau hipotesis lama yang sudah tidak digunakan lagi. Bukan melecehkan, tetapi menyatakan fakta sesungguhnya agar pengguna wujudul hilal sadar bahwa itu memang usang. Mengapa usang? Karena wujudul hilal dibangun dengan inspirasi konsep geosentrik (konsep lama bahwa bumi sebagai pusat alam semesta) yang memang mewarnai tafsir lama, termasuk konsep tujuh langit. Berikut ini saya kutipkan “asal-usul” konsep Wujudul Hilal yang dianut Muhammadiyah yang sangat jelas terinspirasi konsep geosentrik dalam memahami QS 36:40 “tidaklah mungkin matahari mengejar bulan” dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”  (halaman 79-82). Inspirasi geosentrik pada kutipan itu saya tebalkan.

Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya [Yaasin (36) : 39-40]

Pertanyaannya adalah kapan bulan baru dimulai? Apa kriterianya? Ayat 39 dan 40 surat Yaasin ini dapat menjadi sumber inspirasi untuk menentukan kriteria bulan baru tersebut.

Dalam kedua ayat ini terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu (1) peristiwa ijtimak, (2) peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik pergantian siang ke malam itu terkait (3) ufuk, karena terbenamnya matahari artinya berada di bawah ufuk. Peristiwa ijtimak diisyaratkan dalam ayat 39 Yaasin dan awal ayat 40. Pada ayat itu ditegaskan bahwa Allah swt telah menetapkan posisi-posisi tertentu bagi Bulan dalam perjalanannya. Dari astronomi dapat dipahami bahwa posisi-posisi itu adalah posisi Bulan dalam perjalanannya mengelilingi bumi. Pada posisi akhir saat Bulan dapat dilihat dari bumi terakhir kali, Bulan kelihatan seperti tandan tua dan ini menggambarkan sabit dari Bulan tua yang terlihat di pagi hari sebelum menghilang dari penglihatan. Kemudian dalam perjalanan itu Bulan menghilang dari penglihatan dan dari astronomi diketahui bahwa pada saat itu Bulan melintas antara matahari dan bumi. Saat melintas antara bumi dan matahari itu ketika ia berada pada titik terdekat dengan garis lurus antara titik pusat matahari dan titik pusat bumi adalah apa yang disebut ijtimak (konjungsi). Perlu diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi rata-rata selama 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik (atau 29,5 hari). Matahari juga, tetapi secara semu, berjalan mengelilingi bumi [Sesungguhnya bumilah yang mengelilingi matahari]. Dalam perjalanan keliling itu Bulan dapat mengejar matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, yaitu saat Bulan berada antara matahari dan bumi. Saat terjadinya ijtimak menandai Bulan telah cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya. Oleh karena itu kita dapat memanfaatkannya sebagai kriteria mulainya bulan baru. Namun ijtimak saja tidak cukup untuk menjadi kriteria bulan baru karena ijtimak bisa terjadi pada sembarang waktu atau kapan saja pada hari ke-29/30: bisa pagi, bisa siang, sore, malam, dini hari, subuh dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan kriteria lain di samping kriteria ijtimak. Untuk itu kita mendapat isyarat penting dalam ayat 40 surat Yaasin.

Pada bagian tengah ayat 40 itu ditegaskan bahwa malam tidak mungkin mendahului siang, yang berarti bahwa sebaliknya tentu siang yang mendahului malam dan malam menyusul siang. Ini artinya terjadinya pergantian hari adalah pada saat terbenamnya matahari. Saat pergantian siang ke malam atau saat terbenamnya matahari itu dalam fikih, menurut pandangan jumhur fukaha, dijadikan sebagai batas hari yang satu dengan hari berikutnya. Artinya hari menurut konsep fikih, sebagaimana dianut oleh jumhur fukaha, adalah jangka waktu sejak terbenamnya matahari hingga terbenamnya matahari berikut. Jadi gurub (terbenamnya matahari) menandai berakhirnya hari sebelumnya dan mulainya hari berikutnya. Apabila itu adalah pada hari terakhir dari suatu bulan, maka terbenamnya matahari sekaligus menandai berakhirnya bulan lama dan mulainya bulan baru. Oleh karenanya adalah logis bahwa kriteria kedua bulan baru, di samping ijtimak, adalah bahwa ijtimak itu terjadi sebelum terbenamnya matahari, yakni sebelum berakhirnya hari bersangkutan. Apabila bulan baru dimulai dengan ijtimak sesudah terbenamnya matahari, itu berarti memulai bulan baru sebelum Bulan di langit menyempurnakan perjalanan kelilingnya, artinya sebelum bulan lama cukup usianya.

Berbicara tentang terbenamnya matahari, yang menandai berakhirnya hari lama dan mulainya hari baru, tidak dapat lepas dari ufuk karena terbenamnya matahari itu adalah karena ia telah berada di bawah ufuk. Oleh karena itu dalam ayat 40 surat  Yaasin itu sesungguhnya tersirat isyarat tentang arti penting ufuk karena kaitannya dengan pergantian siang dan malam dan pergantian hari. Dipahami juga bahwa ufuk tidak hanya terkait dengan pergantian suatu hari ke hari berikutnya, tetapi juga terkait dengan pergantian suatu bulan ke bulan baru berikutnya pada hari terakhir dari suatu bulan. Dalam kaitan ini, ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah Bulan sudah mendahului matahari atau belum dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur (perjalanan semu bagi matahari). Dengan kata lain ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru. Akan tetapi apabila Bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain Bulan berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan.

Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk. Jadi kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai kriteria memulai bulan baru. Sebagai contoh tinggi Bulan pada sore hari ijtimak Senin tanggal 29 September 2008 saat matahari terbenam adalah – 00° 51′ 57″, artinya Bulan masih di bawah ufuk dan karena itu mustahil dirukyat, dan oleh sebab itu bulan berjalan digenapkan 30 hari sehingga 1 Syawal jatuh hari Rabu 1 Oktober 2008. Pada sore Selasa (hari ke-30) Bulan sudah berada di atas ufuk (tinggi titik pusat Bulan 09º 10′ 25″).

Dalam kutipan (khususnya bagian yang ditebalkan) dari buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” tersebut, konsep “bulan mengejar matahari” (atau “matahari mengejar bulan”) menjadi dasar pemikiran wujudul hilal. Bila bulan telah mendahului matahari dalam pergerakannya dari Barat ke Timur, itulah pertanda awal bulan qamariyah. Itu merupakan tafsir geosentrik atas ayat QS 36:40 “…tidak mungkin matahari mengejar bulan…”.  Seolah matahari dan bulan berkejaran di orbitnya mengelilingi bumi seperti dalam faham geosentrik (lihat gambar pada awal tulisan ini).

(Sumber gambar: internet)

Mari kita baca ayat lengkap QS Yaasin (36):38-40:

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (38) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (39) لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40)

Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.  Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS 36:38-40)

Secara astronomi modern ayat itu difahami bahwa  memang sampai kapan pun tidak mungkin matahari mengejar bulan, karena memang orbitnya berbeda (lihat gambar skema orbit matahari dan bulan). Ayat 38 menjelaskan bahwa matahari punya orbitnya sendiri, mengelilingi pusat galaksi sekali dalam 240 juta tahun. Lalu ayat 39 menjelaskan bahwa bulan mempunyai orbitnya sendiri sehingga menampakkan manzilah-manzilah (fase-fase bulan) dari sabit, menjadi purnama, lalu kembali menjadi sabit. Ayat itu secara tidak langsung menjelaskan tentang orbit bulan mengeliling bumi sekali dalam sebulan. Kesimpulannya diberikan pada akhir ayat 40: masing-masing beredar pada garis edarnya. Jadi, bukan dalam makna geosentrik yang kemudian menginspirasi konsep wujudul hilal.

(Gambar dari internet)

“Malam tidak dapat mendahului siang” ditafsirkan bahwa saat pergantian siang ke malam sebagai pergantian hari, yang diperkuat dengan pendapat jumhur ulama (kebanyakan ulama) bahwa saat maghrib itulah sebagai batas hari. Tanpa menggunakan ayat itu, jumhur ulama memang berpendapat maghrib sebagai awal hari karena mendasarkan pada konsep rukyat bahwa awal tanggal ditentukan sejak rukyatul hilal (tampaknya bulan sabit pertama) saat maghrib. Jadi rukyatlah yang jadi penentu awal hari. Kalau mau ditafsirkan secara astronomi, ayat itu bermakna bahwa malam terus menerus berkejaran (kalau kita lihat dari antariksa) karena bumi berotasi (lihat animasi di atas).

Sumber : Website T. Djamaluddin

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Potensi metode hisab wujudul hilal menjadi Pseudosains

Menuju titik temu hisab wujudul hilal dan hisab imkan rukyat

Wujudul hilal harus diperbarui

Mengkritisi wujudul hilal tanpa kebencian